ototo-in-progress

METAMORFOSIS --- Supported by Tommorowland Project

Telor = Disiplin..??!!@#$?! Selasa, Juni 24, 2008

Masalahnya tampak sederhana. Ada seorang yang tergila-gila pada telor. Hampir di setiap kesempatan makan, urusan telor tak pernah ketinggalan. Dari mulai sarapan, makan siang, sampai makan malam.

Namun urusan telor itu mendadak jadi rumit ketika orang itu berada di Jepang. Suatu hari, saat makan siang, di salah satu menu disebutkan ada makanan yang disajikan dengan telur goreng setengah matang di atasnya. Terbit air liur orang itu. Tapi setelah tahu ada bahan yang haram, dia mengubah pesanannya. Kepada waiter, dia wanti-wanti agar telor setengah matang tadi bisa dipindahkan ke pesanan yang baru. Sang waiter menggeleng. Permintaan yang "sepele" itu tidak dapat dipenuhi karena menu yang baru memang ditawarkan tanpa telor.

Setelah melalui perdebatan, akhirnya orang itu minta agar dia memanggil manajer restoran. Kepada sang manajer, di jelaskan soal keinginannya tadi. Dengan permohonan maaf berulang-ulang, sang manajer mengatakan permintaan itu tidak bisa dikabulkan. Apa yang ditawarkan, itulah yang bisa mereka sediakan. Meskipun orang tersebut sudah menawarkan membayar berlipat untuk telor itu. Sulit dipahami kan?

Urusan telor semacam itu di Indonesia hanyalah persoalan kecil. Tinggal goreng, selesai. Tapi, jika kita memahami orang Jepang, mungkin akhirnya kita bisa nrimo. Disiplin yang tinggi memang menjadi ciri yang kuat dari orang-orang Jepang. Kadang terasa terlalu kaku ketika konteksnya telor tadi.

Orang itu tidak jadi sakit hati manakala dia mencoba memahami jalan pikiran waiter dan sang manajer, termasuk sistem yang sudah berjalan baik di negeri matahari terbit itu. Sangat menggelikan jika membayangkan ketika restoran tutup nanti, manajer harus mempertanggungjawabkan mengapa ada satu telor yang "hilang" atau tidak klop dengan menu yang terjual hari itu. Lalu bagaimana memasukan penjelasan soal "telor yang lompat ke menu lain", yang tidak bisa dilacak oleh komputer yang sudah diprogram? Artinya, satu telor menyimpang dari jalurnya saja akan cepat ketahuan dan harus bisa dipertanggungjawabkan. Setiap orang tidak bisa dengan mudah melakukan penyimpangan dari sistem dan prosedur yang sudah ada.

Hal ini mungkin terlalu mengada-ada ya? Bahkan menggelikan juga jika muncul imajinasi bahwa setelah restoran tutup, sang manajer dan semua staf akan melakukan evaluasi, termasuk membahas bagaimana memecahkan permintaan aneh dari tamu tadi siang. Namun, setelah mereka tahu bahwa tamu yang aneh tadi berasal dari Indonesia, mereka lalu menyimpulkan tidak perlu dibahas lebih lanjut karena sang tamu memang berasal dari negara yang "semua bisa diatur", di mana orang-orangnya terbiasa melakukan penyimpangan. Jadi, rapat lalu memutuskan jangan sampai "virus" berbahaya itu mereka akomodasi dan merusak sistem dan prosedur yang sudah mereka yakini dan jalankan selama ini dengan Disiplin yang tinggi.

Tidak mudah melakukan penyimpangan di negara yang tertib. Begitulah pesan moral dari persoalan telor tadi. Tak heran jika sepanjang berada di Jepang, semua serba tertib. Pada saat naik metro, menyeberang, naik eskalator, antri taksi, bayar di kasir, masuk restoran, dan kegiatan di ruang publik lainnya, serba tertib. Hidup rasanya sangat aman dan nyaman. Tidak ada dominasi yang kuat mengalahkan yang lemah. Tidak ada saling sikut. Hidup kok jadi indah ya?

Masalahnya, hidup ini memang memilih. Kita mau yang mana. Bangsa Jepang bisa bangkit menjadi bangsa yang besar seperti sekarang ini, karena mereka memilih Disiplin sebagai fondasi. Mereka meyakini Disiplin yang tinggi merupakan kunci untuk maju.


Jadi, urusan telor yang rumit tadi, kalau dilihat dari kacamata orang-orang Jepang, tentu jadi rumit karena masuk kategori penyimpangan. Andai waktu itu orang itu berada di sebuah warung di Indonesia, soal telor tadi urusan sepele. Semua bisa diatur di negeri ini.

(thanks to Nova Singarajayang udah kirimi aku artikel ini)

0 komentar: